Robin's Blog
there are always ways if we do try
Friday, March 22, 2013
Area Kunci Bapepam-LK
Pengertian
Area kunci (key area) adalah area, bidang, atau kegiatan yang merupakan fokus audit dalam entitas. Pemilihan area kunci yang tepat memungkinkan penggunaan sumber daya audit secara lebih efisien dan efektif karena dapat memfokuskan sumber daya pada area audit yang memiliki nilai tambah yang maksimum dibandingkan jika menggunakan sumber daya untuk menilai keseluruhan area dalam entitas.
Dalam mengidentifikasi area kunci, ada beberapa factor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pemeringkatan atas area kunci potensial, antara lain sebagai berikut:
• Risiko Manajemen
Dalam audit kinerja, pendekatan audit berbasis risiko lebih ditekankan pada risiko yang ditanggung manajemen terkait dengan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Penentuan risiko manajemen sangat dipengaruhi oleh penilaian auditor atas pengendalian intern.
• Signifikansi
Signifikansi bergantung pada apakah suatu kegiatan dalam suatu area audit secara komparatif memiliki pengaruh yang besar terhadap kegiatan lainnya dalam obyek audit secara keseluruhan. Penentuan signifikansi merupakan penilaian profesional di mana seorang auditor harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti materialitas keuangan, batas kritis keberhasilan, dan visibilitas.
• Dampak Audit
Dampak audit merupakan nilai tambah yang diharapkan dari audit tersebut, yaitu suatu perubahan dan perbaikan yang dapat meningkatkan ‘3E’. Berikut disajikan beberapa kemungkinan dampak audit yang diharapkan:
1. Aspek Ekonomi
2. Aspek Efisiensi
3. Aspek Efektivitas
4. Peningkatan perencanaan, pengendalian, dan manajemen
5. Peningkatan akuntabilitas
6. Peningkatan Kualitas Pelayanan
• Auditabilitas
Auditabilitas berhubungan dengan kemampuan tim auditor untuk melaksanakan audit sesuai dengan standar profesi. Berbagai situasi mungkin terjadi, sehingga auditor memutuskan untuk tidak melaksanakan audit secara profesional pada beberapa area tertentu atau bahkan pada seluruh area entitas, baik karena keadaan entitas maupun keadaan auditor itu sendiri.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Bapepam-LK mempunyai tugas:
1. Melaksanakan pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan sehari-hari pasar modal , serta
2. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang lembaga keuangan, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Berdasarkan evaluasi dengan menggunakan pendekatan factor-faktor pemilihan, disimpulkan bahwa “Perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang lembaga keuangan” sebagai area audit potensial yang akan dilakukan.
Pada tahun 2011, Bapepam-LK telah menetapkan 15 Sasaran strategis yang berisi 24 IKU. Berdasarkan capaian IKU tahun 2011, dari 24 IKU terdapat 20 IKU yang memiliki capaian 100% atau lebih, 2 IKU memiliki capaian antara 80% sampai dengan 100% dan 2 IKU lainnya memiliki capaian kurang dari 80%.
Dari gambar di atas pnulis mencoba menyajikan table rincian capaian Indikator Kinerja Utama Tahun 2011 Bapepam-lk. Gambar di atas menyajikan 10 dari 24 IKU Bapepam –LK, dimana dua di antaranya memiliki realisasi di bawah 80%.
Tidak tecapainya tujuan yang telah ditetapkan maupun realisasi yang jauh dari target yang telah ditentukan dapat menjadi dasar identifikasi area kunci Bapepam –Lk. Jadi dengan menerapkan factor-faktor pemilihan yang sama, dapat dipilih area kunci yang menjadi focus utama dalam pelaksanaan audit di lapangan, yaitu area “Persentase pertumbuhan investasi jangka panjang dari portofolio investasi dana pension”. Pertimbangan penulis ialah nilai realisasi yang hanya 31,25% dari target yang telah ditentukan.
Referensi:
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan Bapepam-LK Tahun 2011
Rai, I Gusti Agung. 2008. Audit Kinerja pada Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
Sunday, March 10, 2013
Struktur Organisasi BAPEPAM-LK dan OJK
BAPEPAM-LK
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang selanjutnya dalam peraturan
ini disebut Bapepam-LK merupakan salah satu badan dibawah Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan sehari-hari pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di lembaga keuangan, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 184/PMK.01 tahun 2010, struktur organisasi BAPEPAM-LK / Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terdiri atas:
A. Sekretariat Badan
Sekretariat Badan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta
pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada semua unsur di lingkungan
Badan;
B. Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum
Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum mempunyai tugas melaksanakan penyusunan peraturan, penetapan sanksi, penanganan keberatan, pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan dalam penyelesaian masalah antara pihak tanpa melalui jalur hukum, melakukan litigasi, pemberian pertimbangan, saran, dan pendapat hukum di bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan serta pembinaan dan pengawasan profesi hukum yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal;
C. Biro Riset dan Teknologi Informasi
Biro Riset dan Teknologi Informasi mempunyai tugas melaksanakan kegiatan riset dan pemanfaatan teknologi informasi dalam upaya pengembangan di bidang pasar modal dan
lembaga keuangan;
D. Biro Pemeriksaan dan Penyidikan
Biro Pemeriksaan dan Penyidikan bertugas menegakkan hukum di bidang transaksi dan lembaga Efek, Pengelolaan Investasi, Keterbukaan Emiten, dan Perusahaan Publik serta melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait dalam rangka penegakan hukum;
E. Biro Pengelolaan Investasi
Biro Pengelolaan Investasi bertugas melaksanakan pengembangan dan pengaturan pengelolaan investasi, pemrosesan izin usaha, pernyataan pendaftaran dan ijin orang perseorangan, membina dan mengawasi Pengelola Investasi, Manajer Investasi, Wakil Manajer Investasi, dan Penasihat Investasi;
F. Biro Transaksi dan Lembaga Efek
Biro Transaksi dan Lembaga Efek bertugas melaksanakan pemrosesan perijinan dan persetujuan, pembinaan, pengawasan, dan pemeriksaan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Biro Administrasi Efek, Kustodian, Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Penjamin Emisi Efek, dan pengawasan transaksi Efek, serta Pengawasan Perdagangan Surat Utang Negara;
G. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa
Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa bertugas melaksanakan penelaahan dan pemantauan keterbukaan Emiten dan Perusahaan Publik yang bergerak di sektor jasa;
H. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil
Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil bertugas melaksanakan penelaahan, dan pemantauan keterbukaan Emiten dan Perusahaan Publik yang bergerak di sektor riil;
I. Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan
Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan bertugas melaksanakan penyusunan dan pengembangan standar akuntansi, standar pemeriksaan akuntansi, standar penilaian di bidang pasar modal, standar tata kelola perusahaan, penelaahan dan penyusunan peraturan perundang-undangan penilaian keuangan perusahaan, pengumpulan dan analisis data dalam rangka pengembangan akuntansi dan keterbukaan, pembinaan, pengawasan dan inspeksi profesi Akuntan dan Penilai; Pemeringkat Efek; dan Wali Amanat yang melakukan kegiatan di pasar modal serta pengembangan pasar modal Syariah;
J. Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Biro Pembiayaan dan Penjaminan bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, evaluasi, pelaksanaan dan pengawasan di bidang lembaga pembiayaan dan lembaga penjaminan;
K. Biro Perasuransian
Biro Perasuransian bertugas menyiapkan perumusan kebijakan standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan pengawasan di bidang perasuransian, termasuk program Tabungan Hari Tua dan Asuransi Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
L. Biro Dana Pensiun
Biro Dana Pensiun bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, pelaksanaan dan evaluasi pengawasan dana pensiun, melaksanakan analisis, evaluasi dan pelaporan atas pengelolaan dana program pensiun Pegawai Negeri Sipil, dan melakukan pembinaan lembaga penunjang dana pensiun;
M. Biro Kepatuhan Internal
Biro Kepatuhan Internal bertugas melaksanakan penelaahan dan penilaian kepatuhan pelaksanaan tugas sekretariat dan biro di lingkungan Bapepam dan LK, serta pemberian rekomendasi peningkatan pelaksanaan tugas.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga Independen yang menggantikan tugas BAPEPAM-LK yang dahulu berada dibawah Kementerian Keuangan. OJK mulai bertugas sejak 1 Januari 2013, sehingga Bapepam-LK dibubarkan. Menurut Pengamat Ekonomi, Seto Wardono, berpindahnya wewenang ini tidak akan membawa dampak yang besar terhadap dunia pasar modal karena kinerja OJK sebenarnya sama saja dengan Bapepam-LK walaupun akan membawa perubahan dan perbedaan sedikit. UU OJK sendiri telah disahkan pada 2010 lalu yang mengamanatkan kepada OJK untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan baik sektor perbankan, sektor pasar modal maupun sektor non perbankan. Pada pertengahan 2011 lalu, Kemenkeu bersama DPR melakukan seleksi pemilihan Ketua OJK beserta Dewan Komisionernya. Sesuai amanat UU, OJK mulai menjalankan tugas dan fungsinya melakukan pengawasan kepada pasar modal. Untuk perbankan, pengawasan akan dilakukan pada 2014 nanti.
Struktur organisasi OJK terdiri atas:
1. Dewan Komisioner OJK; dan
2. Pelaksana kegiatan operasional.
Struktur Dewan Komisioner terdiri atas:
1. Ketua merangkap anggota;
2. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
6. Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
7. Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen;
8. Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
9. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
Pelaksana kegiatan operasional terdiri atas:
1. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;
2. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II;
3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor Perbankan;
4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan Sektor Pasar Modal;
5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang Pengawasan Sektor IKNB;
6. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko; dan
7. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen
Opini Jika dilihat dari struktur organisasinya BAPEPAM-LK memiliki biro-biro yang mempunyai tugas pokok dan fungsi khusus yang dikoordinasi oleh sekretariat badan. Dalam struktur organisasi OJK, biro-biro tersebut digantikan dan disederhanakan oleh bidang-bidang yang secara langsung diawasi oleh dewan komisioner yang bertanggung jawab atas masing-masing bidang. Meskipun bidang-bidang dalam OJK tidak sebanyak biro-biro dalam BAPEPAM-LK namun fungsi dan tugas yang diembannya tetap sama. Penyederhanaan ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi kinerja dan efektivitas dari fungsi-fungsi yang saling berkaitan dan menunjang jika dikoordinasikan dalam satu bidang, sehingga diharapkan fungsi-fungsi dari masing-masing bidang dapat terlaksana dan tercapai dengan lebih baik.
Dalam Dewan Komisioner pun anggotanya berasal dari mantan pejabat setingkat eselon satu dalam Kementerian Keuangan dan pejabat dari Bank Indonesia. Dengan adanya petinggi-petinggi yang telah berpengalaman dan mempunyai latar belakang yang tidak hanya dari kememterian keuangan, OJK diharapkan dapat menjadi badan yang lebih baik dibandingkan dengan pendahulunya BAPEPAM-LK dalam melaksanakan tugas. Ditambah lagi pegawai OJK kini berstatus seperti pegawai dalam organisasi swasta, sehingga kinerja dari pegawai lebih diawasi dan dituntut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Tuesday, February 26, 2013
Trade Off antara Efisiensi dan Equity(keadilan)
Dalam sektor publik terdapat konsep 3E yakni Ekonomi, Efisiensi, dan Efektivitas. 3E tersebut perlu diperluas dengan E yang ke empat yaitu Equity (keadilan).Dalam setiap penyelenggaraan Pemerintahan, khususnya negara yang menganut konsep Welfare State seperti Indonesia, pasti mengutamakan segi keadilan dan efisien. akan tetapi pada dasarnya kedua sifat ini akan mengalami trade off antara keduanya. trade off ini merupakan suatu hal pelik yang pasti terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan.
Sebelum melanjutkan pembahasan pada trade antara efisiensi dan equity(keadilan), ada baiknya terlebih dalu kita membahas pengertian dari efisiensi dan equity(keadilan)
Efisiensi (efficiency) menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya), mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat, berdaya guna, bertepat guna.
Sedangkan menurut definisi yang lain efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima.terdapat 4 kondisi yang dapat digolongkan sebagai efisien :
a. Menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu.
b. Menghasilkan output tetap untuk input yang lebih rendah dari yang seharusnya.
c. Menghasilkan produksi yang lebih besar dari penggunaan sumber dayanya.
d. Mencapai hasil dengan biaya serendah mungkin.
Sedangkan pengertian equity sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak atau sewenang-wenang, sehingga keadilan mengandung pengertian sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau sewenang-wenang
Menurut Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik menyatakan bahwa keadilan sebagai suatu keadaan di mana orang dalam situasi yang sama diperlakukan secara sama.
Sedangkan menurut Aristoteles dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam :
a. Keadilan distributif atau justitia distributiva;
suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan.
b. Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa;
Suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.
Terdapat dua masalah yang ditimbulkan dari trade off ini yaitu, untuk menurunkan ketidakadilan, seberapa besar efisiensi yang dikorbankan dan adanya ketidaksepakatan mengenai nilai relatif yang harus diberikan atas penurunan nilai ketidakadilan dibandingkan nilai efisiensi.
Sebagian berpendapat bahwa keadilan adalah masalah utama yang ada di masyarakat sehingga untuk memaksimalkannya harus mengorbankan efisiensi, begitu pula sebaliknya pandangan orang yang menyatakan bahwa efisiensi adalah masalah utama. Inilah mengapa antara efisiensi dan keadilan tidak bisa berjala bersama, harus ada salah satu yang dikorbankan.
Efisiensi terjadi ketika kondisi kesejahteraan tidak dapat ditingkatkan lagi tanpa mengorbankan tingkat kesejahteraan pihak lain (Pareto). Kalau dalam suatu komunitas ada A (50), B (100), dan C (1000) dengan angka di dalam kurung mewakili tingkat kesejahteraan hipotetis, maka menaikkan kesejahteraan A tanpa mengorbankan kesejahteraan B atau C adalah kondisi dimana terjadi perbaikan efisiensi (Pareto improvement); tetapi jika untuk menaikkan tingkat kesejahteraan salah satu anggota harus menurunkan kesejahteraan anggota lain, maka kondisi awal ini sudah menunjukkan Pareto efficient.
Di lain sisi,keadilan adalah suatu istilah yang batasannya tidak tegas dan sangat relatif. Adil bagi C belum tentu dianggap adil bagi A atau B. Kita tidak bisa memuaskan semua pihak sekaligus. Subsidi BBM secara massal tidak efisien karena memicu over-consumption dan dinikmati golongan yang tidak seharusnya menerima subsidi. Tetapi dengan struktur ekonomi dan bisnis kita yang memang tidak efisien, menghilangkan subsidi sekaligus akan membuat kehidupan lapisan miskin semakin menderita. Di sini kita lihat ada trade-off antara efficiency dan equity. Saya tidak hendak membahas mana yang terbaik tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa dalam hampir semua hal efficiency itu bekerja berlawanan arah dengan equity.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kenyataannya, efisiensi dan keadilan sering sekali tidak dapat sejalan. Untuk mencapai efisiensi maka harus mengorbankan keadilan, begitu pula sebaliknya. Kaedilan dapat dicapai tetapi konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi. First fundamental theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum dalam pasar yang sempurna. Dalam kenyataannya, terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar intervensi pemerintah untuk mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui kebijakan redistribusi dalam bentuk pajak, subsidi, dan pengeluaran publik pemerintah.
Saturday, February 23, 2013
Short Run Trade Off Between Inflation and Unemployment
In the short run, an increase in the quantity of money stimulates spending, which raises both prices and production. The increase in production requires more hiring, which reduces unemployment. Thus, in the short run, an increase in inflation tends to reduce unemployment, causing a trade-off between inflation and unemployment. The trade-off is temporary but can last for a year or two. Understanding this trade-off is important for understanding the fluctuations in economic activity known as the business cycle. In the short run, policy makers may be able to affect the mix of inflation and unemployment by changing government spending, taxes, and the quantity of money.
Although a higher level of prices is, in the long run, the primary effect of increasing the quantity of money, the short-run story is more complex and controversial. Most economists describe the short-run effects of monetary injections as follows:
This line of reasoning leads to one final economy-wide trade-off: a short-run tradeoff between inflation and unemployment. Although some economists still question these ideas, most accept that society faces a short-run trade-off between inflation and unemployment. This simply means that, over a period of a year or two, many economic policies push inflation and unemployment in opposite directions. Policymakers face this trade-off regardless of whether inflation and unemployment both start out at high levels (as they were in the early 1980s), at low levels (as they were in the late 1990s), or someplace in between. This short-run trade-off plays a key role in the analysis of the business cycle—the irregular and largely unpredictable fluctuations in economic activity, as measured by the production of goods and services or the number of people employed.
Policymakers can exploit the short-run trade-off between inflation and unemployment using various policy instruments. By changing the amount that the government spends, the amount it taxes, and the amount of money it prints, policymakers can influence the overall demand for goods and services. Changes in demand in turn influence the combination of inflation and unemployment that the economy experiences in the short-run. Because these instruments of economic policy are potentially so powerful, how policymakers should use these instruments to control the economy, if at all, is a subject of continuing debate.
Although a higher level of prices is, in the long run, the primary effect of increasing the quantity of money, the short-run story is more complex and controversial. Most economists describe the short-run effects of monetary injections as follows:
- Increasing the amount of money in the economy stimulates the overall level of spending and thus the demand for goods and services.
- Higher demand may over time cause firms to raise their prices, but in the meantime, it also encourages them to hire more workers and produce a larger quantity of goods and services.
- More hiring means lower unemployment.
This line of reasoning leads to one final economy-wide trade-off: a short-run tradeoff between inflation and unemployment. Although some economists still question these ideas, most accept that society faces a short-run trade-off between inflation and unemployment. This simply means that, over a period of a year or two, many economic policies push inflation and unemployment in opposite directions. Policymakers face this trade-off regardless of whether inflation and unemployment both start out at high levels (as they were in the early 1980s), at low levels (as they were in the late 1990s), or someplace in between. This short-run trade-off plays a key role in the analysis of the business cycle—the irregular and largely unpredictable fluctuations in economic activity, as measured by the production of goods and services or the number of people employed.
Policymakers can exploit the short-run trade-off between inflation and unemployment using various policy instruments. By changing the amount that the government spends, the amount it taxes, and the amount of money it prints, policymakers can influence the overall demand for goods and services. Changes in demand in turn influence the combination of inflation and unemployment that the economy experiences in the short-run. Because these instruments of economic policy are potentially so powerful, how policymakers should use these instruments to control the economy, if at all, is a subject of continuing debate.
The trade off between inflation and unemployment
Okun's Law describes a clear relationship between unemployment and national output, in which lowered unemployment results in higher national output. Such a relationship makes intuitive sense: as more people in a nation work it seems only right that the output of the nation should increase. Building on Okun's law, another economist, A. W. Phillips, discovered a relationship between unemployment and inflation. The chain of basic ideas behind this belief follows: as more people work the national output increases, causing wages to increase, causing consumers to have more money and to spend more, resulting in consumers demanding more goods and services, finally causing the prices of goods and services to increase. In other words, Phillips showed that unemployment and inflation shared an inverse relationship: inflation rose as unemployment fell, and inflation fell as unemployment rose.
Phillips Curve
It is important to remember that the Phillips curve depicted above is simply an example. The actual Phillips curve for a country will vary depending upon the years that it aims to represent. While the Phillips curve is theoretically useful, however, it less practically helpful. The equation only holds in the short term. In the long run, unemployment always returns to the natural rate of unemployment, making cyclical unemployment zero and inflation equal to expected inflation.
In fact, the Phillips curve is not even theoretically perfect. In fact, there are many problems with it if it is taken as denoting anything more than a general relationship between unemployment and inflation. In particular, the Phillips curve does a terrible job of explaining the relationship between inflation and unemployment from 1970 to 1984. Inflation in these years was much higher than would have been expected given the unemployment for these years.
Such a situation of high inflation and high unemployment is called stagflation. The phenomenon of stagflation is somewhat of a mystery, though many economists believe that it results from changes in the error term of the previously stated Phillips curve equation. These errors can include things like energy cost increases and food price increases. But no matter its source, stagflation of the 1970's and early 1980's seems to refute the general applicability of the Phillips curve.
The Phillips curve must not be looked at as an exact set of points that the economy can reach and then remain at in equilibrium. Instead, the curve describes a historical picture of where the inflation rate has tended to be in relation to the unemployment rate. When the relationship is understood in this fashion, it becomes evident that the Phillips curve is useful not as a means of picking an unemployment and inflation rate pair, but rather as a means of understanding how unemployment and inflation might move given historical data.
Phillips Curve
It is important to remember that the Phillips curve depicted above is simply an example. The actual Phillips curve for a country will vary depending upon the years that it aims to represent. While the Phillips curve is theoretically useful, however, it less practically helpful. The equation only holds in the short term. In the long run, unemployment always returns to the natural rate of unemployment, making cyclical unemployment zero and inflation equal to expected inflation.
In fact, the Phillips curve is not even theoretically perfect. In fact, there are many problems with it if it is taken as denoting anything more than a general relationship between unemployment and inflation. In particular, the Phillips curve does a terrible job of explaining the relationship between inflation and unemployment from 1970 to 1984. Inflation in these years was much higher than would have been expected given the unemployment for these years.
Such a situation of high inflation and high unemployment is called stagflation. The phenomenon of stagflation is somewhat of a mystery, though many economists believe that it results from changes in the error term of the previously stated Phillips curve equation. These errors can include things like energy cost increases and food price increases. But no matter its source, stagflation of the 1970's and early 1980's seems to refute the general applicability of the Phillips curve.
The Phillips curve must not be looked at as an exact set of points that the economy can reach and then remain at in equilibrium. Instead, the curve describes a historical picture of where the inflation rate has tended to be in relation to the unemployment rate. When the relationship is understood in this fashion, it becomes evident that the Phillips curve is useful not as a means of picking an unemployment and inflation rate pair, but rather as a means of understanding how unemployment and inflation might move given historical data.
Trade Off
whats's the meaning of trade off ?
Trade-off is a situation that involves losing one quality or aspect of something in return for gaining another quality or aspect. It often implies a decision to be made with full comprehension of both the upside and downside of a particular choice; the term is also used in an evolutionary context, in which case the selection process acts as the "decision-maker".
In another description of trade off is when choices are made (collectively or by an individual) to accept having less of one thing in order to get more of something else
examples of trade off
when one is allocating (limited) funds, the trade-off usually involves reduced spending for some purposes in order to be able to spend more for other more urgent purposes. However, the concept does not apply only (or even primarily) to decisions involving money. A student faced with the choice of spending Saturday studying for a Political Economy exam or shopping at The Mall makes a trade-off of shopping time for study time in deciding how many hours to study and how many to spend shopping.
In economics the term is expressed as opportunity cost, referring to the most preferred alternative given up. A trade-off, then, involves a sacrifice that must be made to obtain a certain product, rather than other products that can be made using the same required resources. For a person going to a basketball game, its opportunity cost is the money and time expended, say that would have been spent watching a particular television program.
Society also makes trade-offs, such as, for example, between its need for a more plentiful supply of energy and its need to prevent excessive deterioration of the environment caused by energy production technologies. Evaluating trade-offs, when done carefully and systematically, involves comparing the opportunity costs and benefits of each of the available alternatives with each other. Most choices (and thus most trade-offs) are not all-or-nothing decisions; rather they typically involve small changes at the margin, a little more of this at the cost of a little less of that. Consumers continuously practice marginalism and make trade-offs as they consider whether to buy one more unit or one unit less of a good or service in their efforts to obtain a mix of goods and services that afford them the greatest satisfaction for their available buying power. Producers must constantly be deciding and reevaluating their trade-offs in choosing whether to produce somewhat more or somewhat less of a particular product, whether to add a few more workers or lay a few off, whether to invest in more plant and equipment or whether to close down some of existing capacity, and so on, in their efforts to maximize profits.
Trade-off is a situation that involves losing one quality or aspect of something in return for gaining another quality or aspect. It often implies a decision to be made with full comprehension of both the upside and downside of a particular choice; the term is also used in an evolutionary context, in which case the selection process acts as the "decision-maker".
In another description of trade off is when choices are made (collectively or by an individual) to accept having less of one thing in order to get more of something else
examples of trade off
when one is allocating (limited) funds, the trade-off usually involves reduced spending for some purposes in order to be able to spend more for other more urgent purposes. However, the concept does not apply only (or even primarily) to decisions involving money. A student faced with the choice of spending Saturday studying for a Political Economy exam or shopping at The Mall makes a trade-off of shopping time for study time in deciding how many hours to study and how many to spend shopping.
In economics the term is expressed as opportunity cost, referring to the most preferred alternative given up. A trade-off, then, involves a sacrifice that must be made to obtain a certain product, rather than other products that can be made using the same required resources. For a person going to a basketball game, its opportunity cost is the money and time expended, say that would have been spent watching a particular television program.
Society also makes trade-offs, such as, for example, between its need for a more plentiful supply of energy and its need to prevent excessive deterioration of the environment caused by energy production technologies. Evaluating trade-offs, when done carefully and systematically, involves comparing the opportunity costs and benefits of each of the available alternatives with each other. Most choices (and thus most trade-offs) are not all-or-nothing decisions; rather they typically involve small changes at the margin, a little more of this at the cost of a little less of that. Consumers continuously practice marginalism and make trade-offs as they consider whether to buy one more unit or one unit less of a good or service in their efforts to obtain a mix of goods and services that afford them the greatest satisfaction for their available buying power. Producers must constantly be deciding and reevaluating their trade-offs in choosing whether to produce somewhat more or somewhat less of a particular product, whether to add a few more workers or lay a few off, whether to invest in more plant and equipment or whether to close down some of existing capacity, and so on, in their efforts to maximize profits.
Monday, February 18, 2013
Public Sector Auditing
Public Sector Auditing is an activity directed towards entities that provide services and supply of goods whose financing comes from tax revenues and other revenues for the purpose of comparing the conditions found and the criteria set. A public sector audit refers to audits covering the government, healthcare, education, charities and other public non-for-profit organisations. There are accounting firms that specialise in such public sector audits, not only providing general auditing services, but other advice, such as how effectively these organisations can make use of taxpayer money or how best to manage their financial assets. However, unlike audits for private organisations, an auditor, auditing a public organisation may also go further to assess whether the public organisation is meeting its mission or objectives.
In Indonesia, public sector auditing regulated in 'UU no.15 tahun 2004' and called state finacial audit.
In Indonesia, public sector auditing regulated in 'UU no.15 tahun 2004' and called state finacial audit.
Subscribe to:
Posts (Atom)